Simbol Perlawanan Tiga Generasi Dalam Perang Banjar
PERANG Banjar meletus dengan dahsyat pada
tahun 1850-an. Tiga generasi Pangeran Antasari terlibat dalam perang ini.
Berada di front terdepan, membuat kepalanya dihargai 10 ribu gulden oleh
kompeni Belanda. Hingga akhir hayatnya, Antasari tidak pernah sekali pun
tertipu dengan siasat VOC.
Heroisme Antasari adalah saat menyerbu dan menaklukkan
Benteng Pengaron yang saat itu masuk Keresidenan Kayutangi di Kerajaan Banjar.
Pada tanggal 25 April 1859, benteng sekaligus lokasi tambang Nassau Oranje milik
kompeni, diserbu bersama Panglima Perangnya Demang Lehman.
Mirip Perang Aceh atau Perang Padri, selalu memunculkan sosok
penting dari peristiwa genting. Pangeran Antasari berhasil menghancurkan
benteng dan menewaskan sejumlah perwira Belanda dalam serbuan ini. Seakan
menjadi penyemangat perjuangan Rakyat Banjar, sejak itulah konfrontasi pecah di
mana-mana.
Jejak sejarah Perang Banjar ini, tidak menjelma menjadi
cerita dongeng belaka. Sebab kekokohan Benteng Pengaron, masih tegak berdiri
sampai kini. Untuk menjumpai benteng yang dibangun dari hasil kerja rodi rakyat
Banjar, dibutuhkan waktu selama 2,5 jam dari Banjarmasin. Menempuh jalan darat,
akses transportasi menggunakan sepeda motor atau mobil menuju ke sana cukup
mudah.
Setelah menaiki kendaraan, perjalanan dilanjutkan berjalan
kaki menempuh rute pendek sekitar 150 meter.
Di lereng bukit yang landai, gapura dan pilar bangunan benteng sudah
terlihat menyambut. Hanya satu ungkapan; betapa kokohnya benteng ini. Meski
kondisinya sudah tidak terawat lagi, sisa-sisa kepurbaan bangunan masih bisa
dinikmati.
Sejumlah tanaman parasit mengular merayapi hampir seluruh
sisi bangunan. Perasaan horor dan mistik muncul saat di sisi bawahnya dijumpai
lorong-lorong bawah tanah. Lorong-lorong bawah tanah inilah yang digunakan
kompeni mengangkut batubara dan menyiksa rakyat Banjar yang mangkir dari
kerjapaksa.
Camat Pengaron Taufiqurrahman yang menyertai Tim Liputan
Dokumenter Duta TV ke lokasi, memastikan jika masyarakat Pengaron tidak pernah
terdengar ada yang berani masuk ke dalam lorong. Warga setempat yang akrab
menyebut lorong bawah tanah dengan sebutan liang, tidak bisa memastikan ada
berapa banyak jumlah lorong bawah tanah di Benteng Pengaron.
“Konon lorong bawah tanah ini panjangnya mencapai tiga
kilometer dan antar liang saling menembus satu sama lain. Saking panjangnya,
lorong bawah tanah ini menghubungkan tiga desa yakni Desa Benteng, Desa
Pengaron dan Desa Maniapu,” kisah Camat Pengaron Taufiqurahman.
Jika di depan benteng, pintu masuknya ditumbuhi semak belukar
dan akar. Maka di bagian belakang justru sudah tertutup reruntuhan batu dan
tanah. Air perbukitan yang jernih, teraduk lumpur saat bongkahan batu menerpa
dasar liang. Tinggi dasar hingga atas lorong diperkirakan mencapai 2,5 meter
dengan lebar 2 meter.
Gerusan tanah dan bebatuan yang menumpuk di muara lorong,
membuat mulut tambang dipenuhi genangan air. Selain itu untuk menuju sisi
belakang yang berakses ke anak Sungai Pengaron, dibutuhkan perjalanan esktra. Sebab
selain tertutupi semak belukar, beberapa pohon besar masih berdiri.
Di luar benteng, masih dalam kawasan yang sama ditemukan
beberapa makam yang dipercaya milik perwira Belanda. Makam-makam yang pernah
dibongkar warga, kondisinya tidak terawat lagi. Beberapa di antaranya, justru
sudah tenggelam gerusan tanah. Yang tersisa hanyalah bongkahan batu berukuran
besar dan memanjang.
Di masa Kerajaan Banjar masih berdiri, Pengaron menjadi salah
satu Kewedanan Kayutangi sebagai pusat dagang Belanda. Tetapi sejak kompeni
berperilaku culas, Pangeran Antasari menjadikan wilayah ini sebagai basis
perang terbuka. Sebuah surat dilayangkan Antasari kepada Kolonel Van Verspyck
yang memintanya menyerah.
Bunyinya;”dengan tegas kami terangkan kepada tuan, kami tidak
setuju terhadap usul mintan ampun dan kami berjuang terus menuntut hak pusaka
kemerdekaan.” ***
(H.Syarifuddin Ardasa, Executif
Produser Program Documenter Duta TV Banjarmasin)