Jumat, 19 Agustus 2011

Anggrek Hitam Loksado


PESONA Loksado, sebuah kawasan hijau yang dihuni ratusan jiwa suku Dayak di perbukitan Meratus di Kabupaten Hulu Sungai Selatan,  selalu saja menghipnotis yang datang. Di pinggiran Sungai Amandit, warga Dayak bermukim sambil berladang dan menanam kayu manis. Sungainya berair deras dan jernih, jeram yang menantang memanjakan pegiat bambu rafting yang datang.
Pesona lainnya adalah populasi sebaran beragam jenis anggrek. Salah satu yang terkenal adalah anggrek hitam. Disebut anggrek hitam karena baluran warna hitam menjulur dan mengitari sisi-sisi pinggir sulur-sulurnya. Warna pelambang kekuatan ini semakin dominan muncul di tengah kuncup bunga yang berwarna hijau pekat.
Daunnya yang panjang ditopang bongkol dan akar serabut yang kuat mencengkram pepohonan atau pot tanah.  Anggrek hitam ini tumbuh subur dengan tunas-tunas aktif bermunculan. Proses berbunganya hanya 8 – 10 hari, setelah itu pesona mistiknya melayu.
Anggrek hitam atau Coelogyne Pandurata adalah jenis anggrek alam dari hutan Kalimantan. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999,  tumbuhan ini dilindungi. Selain di habitatnya perbukitan meratus dengan hutan hujan tropis, anggrek hitam juga dijual bebas.
Pemasoknya, sekelompok warga  yang mengambil bibitnya dari kawasan hutan lindung Meratus yang membelah empat kabupaten di Kalimantan Selatan. Di Banjarmasin sendiri, hampir setiap akhir pekan anggrek dan tumbuhan hutan lainnya dijual bebas di pinggiran Jalan Ahmad Yani, Kilometer 7, Kertak Hanyar.
Tak kurang empat hingga enam mobil pikap yang menggantung dan memajang tumbuhan ini. Bahkan di Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, pedagang menjualnya secara khusus di Pasar Kambang (pasar tradisional bunga) yang buka hingga malam hari.
Harganya pun relatif murah antara 15 hingga 20 ribu rupiah per pohon. Selain jenis anggrek hitam, jenis tebu atau anggrek macan, anggrek bulan, anggrek sahang hingga anggrek pandan juga ada. Kantong semar bercorak merah dan hijau kepekatan, juga dijual disini bersama tanaman sarang semut yang dipercaya  Suku Dayak sebagai obat penangkal kanker.
Meski dijual secara terbuka, namun tak ada tindakan nyata dari petugas Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam (BKSDA) Dinas Kehutanan Kalsel. Para pencari anggrek ini, beberapa di antaranya berasal dari Suku Dayak. Mereka bersepakat anggrek yang tumbuh menempel di pohon besar tidak diambil semua, tetapi diliarkan agar tumbuh kembali, sebagai nilai kearifan agar anggrek tetap lestari.  (***)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar