CUKUP lama aku tidak mengunjungi sisi utara perbukitan Meratus ini. Namanya Bajuin, letaknya berdampingan dengan Desa Sungai Bakar, sebuah perkampungan yang dihuni sekitar 120 jiwa. Menuju kesana hanya dibutuhkan waktu 40 menit dari Kota Pelaihari, Kabupaten Tanah Laut.
Dulunya kawasan ini menjadi tempat favorit warga Kalimantan Selatan untuk berwisata menikmati pesona alam yang eksotis. Setidaknya ada dua tujuan sebagai tempat favorit. Pertama di sisi kiri bukitnya ada air terjun Bajuin dan kedua di sisi kanannya ada gua marmer.
Di awal Oktober 2008 lalu, aku berkesempatan lagi ke sana. Dahsyat sekali perubahannya. Air terjun yang menerabas belukar turun dari atas perbukitan tidak lagi mengucur deras. Pun tak beda jauh, anak Sungai Bajuin yang biasanya jernih, justru mulai pekat kecoklatan warnanya.
Populasi pohon Belangiran dan Meranti yang rapat menutupi dinding bukitnya, kini sudah meranggas berganti semak dan tumbuhan merambat. Sebagian bukitnya justru sudah koyak, bak kepala yang sudah pitak. Sehingga tidak mampu lagi menampung debit air, membuat arusnya tidak lagi terjun tetapi hanya menetes.
Usai merendam kaki di anak sungainya, kami beranjak menuju sisi kanan bukit yang kami datangi bersama kawan-kawan jurnalis. Kali ini Gua Marmer yang jadi tujuan. Baru sepenggal perjalanan menuju lokasi yang penuh lubang dan bebatuan, kami sudah disambut portal dengan pos penjagaan.
Mobil distop dan seorang petugas berbaju biru datang memeriksa dan menginterogasi. Berlebihan memang. Semestinya kami ditarik retribusi karcis selayaknya masuk lokasi wisata. Di sini, kami justru ditanyakan nama dan alamat serta tujuan ke gua marmer lengkap dengan mengisi buku tamu segala.
Di ujung pos dua orang penjaga, justru berbaju doreng tentara. Salah satunya berdiri tegap dengan senjata AK-47 diselempangkan. Seorang teman berujar, “Ini tempat wisata atau menuju kamp tentara?” Setelah bagian dalam mobil turut diperiksa, kami pun lolos di pos ini setelah menyembunyikan kamera liputan di box ban serep.
Di sepanjang jalan, mobil yang kami jalankan disambut tanah liat kekuningan. Bongkahan batu berjejer di sisi kanan dan kirinya. Lima unit alat berat excavator bekerja mencangkul bukit berbatu dan sebagian menyusunnya.
Sejumlah pekerja memungut bongkahan batu yang berukuran kecil dan memasukkannya ke dalam karung plastik. Batu-batu ini, bukan batu biasa. Tetapi batu yang mengandung biji besi dan mangan yang kini diburu. Pemburunya bukan hanya warga biasa, pengusaha, tetapi juga tentara.
Bahkan dua kilometer dari pos penjagaan terpampang papan nama bertuliskan PUSKOPAD, tak jauh dari gua marmer yang kami datangi. Memang mulut gua marmer tidak (belum) tersentuh aktivitas pertambangan. Bongkahan material marmernya pun masih kokoh berdiri, saat kami datangi dengan berjalan kaki.
Hanya saja di sisi kanannya, aktivitas pertambangan biji besi sudah merusak kawasan ini. Jaraknya hanya 75 meter dari sekumpulan bukit marmer yang mengalirkan air jernih. Entah mengapa, berkali-kali warga setempat mengadu, hanya menjadi sekumpulan polemik tanpa ada aksi untuk menghentikan penambangan.
Padahal pemilik izin kuasa pertambangan (KP) di kawasan ini dikelola oleh Perusahaan Daerah Baratala. Perusahaan milik pemerintah Kabupaten Tanah Laut ini menggandeng pihak ketiga melalui pemberian SPK (surat perintah kerja) kepada PT KY, perusahaan milik asing. Agar aktivitasnya mulus, lagi-lagi tentara kita diberdayagunakan selain sebagai pengaman sekaligus mengeruk keuntungan. (***)
(Kusarikan dari Perjalanan Liputan Program Reportase Trans-TV)
(Kusarikan dari Perjalanan Liputan Program Reportase Trans-TV)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar