PAGI 10 Pebruari 1966, Hasanuddin Haji Madjedi dengan bersemangat menggenjot sepeda ontelnya bersama kakak perempuannya, menuju Kampus Unlam (kini Bank Mandiri) di Jalan Lambung Mangkurat. Sesampainya di sana, sudah ribuan mahasiswa baru (tingkat persiapan) dan para seniornya berkumpul
Penanda mereka mahasiswa baru, terlihat dari peci (mirip angkatan laut) yang dikenakan dan logo Unlam di sisi kanan peci, pengganti baju almamater. Barisan mahasiswa yang dikomandani aktivis Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), akhirnya membaur bersama sekitar 15 ribu demonstran untuk mengikuti apel siaga di lapangan terbuka (sekarang halaman Sabilal Muhtadin
Penanda mereka mahasiswa baru, terlihat dari peci (mirip angkatan laut) yang dikenakan dan logo Unlam di sisi kanan peci, pengganti baju almamater. Barisan mahasiswa yang dikomandani aktivis Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), akhirnya membaur bersama sekitar 15 ribu demonstran untuk mengikuti apel siaga di lapangan terbuka (sekarang halaman Sabilal Muhtadin
Dalam apel siaga, pendemo menyampaikan tuntutannya kepada Gubernur Kalsel H.Aberani Sulaiman, Rektor Unlam Milono dan disaksikan Kasdam Kolonel Sutopo Yuwono. Usai menyampaikan aspirasinya, aksi demonstrasi dilanjutkan ke Kantor Konsulat Republik Rakjat Tjina (RRT) –-sekarang Kantor Ajenrem-- di Jalan Pierre Tendean, Banjarmasin
Mengapa Konsulat RRT yang menjadi sasaran mahasiswa? “Karena sebelum demonstrasi, mereka diduga menjadi beking tengkulak sembako sehingga harga barang naik tinggi. Selain itu mereka diduga terlibat gerakan komunis karena hampir setiap hari, siaran radio mereka Viking Hsinhua menyiarkan tentang paham komunis,” papar Yusriansyah Azis, mantan demonstran
Mengapa Konsulat RRT yang menjadi sasaran mahasiswa? “Karena sebelum demonstrasi, mereka diduga menjadi beking tengkulak sembako sehingga harga barang naik tinggi. Selain itu mereka diduga terlibat gerakan komunis karena hampir setiap hari, siaran radio mereka Viking Hsinhua menyiarkan tentang paham komunis,” papar Yusriansyah Azis, mantan demonstran
Sesampainya di kantor konsulat, aksi diwarnai kericuhan. Pemicunya upaya mahasiswa menyampaikan aspirasi ditolak petugas konsulat.Kedatanga ribuan massa yang marah disambut petugas keamanan dengan semprotan pemadam. Suasana kian mencekam, setelah terdengar suara rentetan tembakan dan hujan deras mengguyur
Sejumlah demonstran jatuh pingsan dan sebagian lagi menjadi korban pemukulan. “Akhirnya surat pernyataan sikap, bisa kami sampaikan setelah Abi Karsa kami dorong pantatnya ke atas pagar dan melemparkan surat tuntutan kami,” jelas Yusriansyah Azis, anggota Predisium KAMI Komisariat Unlam 1966
Aksi demonstrasi pun bubar. Sebagian mahasiswa masih melanjutkan aksi, sedangkan para pelajar dianjurkan pulang. Saat bubar, arus massa terpecah menjadi dua bagian. Satu kelompok menuju Kampus Unlam di Jalan Lambung Mangkurat dan sebagian lagi melewati Jembatan Dewi menuju Pasar Baru
Hasanuddin Haji Madjedi, yang turut dalam aksi menjadi aktor penting sebagai pengusung spanduk bertuliskan,” Tak Ada Pilihan Lain, Menjadi Bangsa Indonesia atau Bangsa Asing.” Tak puas beraksi di depan Kantor Konsulat RRT, rombongannya melakukan longmarch dari Pecinan (Jl. Pierre Tendean) menuju Pasar Sudimampir dan Pasar Baru
.
.
Setibanya di pertigaan pasar, teriakan tuntutan penurunan harga barang dan pembubaran PKI semakin kecang dan garang disuarakan mahasiswa. Tepat di pertigaan depan Toko Roti Minseng, kerumunan ribuan massa kian banyak.
Kehadiran mereka, rupanya dianggap mengganggu stabilitas pasukan BKO dari
Batalyon K Jawa Tengah yang sedang berjaga-jaga
Kehadiran mereka, rupanya dianggap mengganggu stabilitas pasukan BKO dari
Batalyon K Jawa Tengah yang sedang berjaga-jaga
Di saat situasi kian tegang, suara tembakan terdengar dari ketinggian bangunan. Dalam waktu bersamaan, Hasanuddin, HM yang mengusung spanduk, tiba-tiba tersungkur bersimbah darah. Teriakan dan pekikan takbir bergema. Sang demonstran berusia 19 tahun ini pun digotong rekan-rekannya ke Klinik Kesehatan Muhammadiyah
Lubang menganga dari samping, ternyata menembus pinggang belakangnya. Nyawa Hasanuddin, HM tak tertolong lagi dan dipastikan meninggal. Jasad korban akhirnya dibawa lagi ke Rumah Sakit Ulin Banjarmasin
“Kami mendapat kabar siang hari. Mama sudah terabah dan abah dipapah walikota dan pejabat yang datang ke rumah sakit. Kami kada mengira, kenapa inya sampai meninggalkan kami. Padahal Asan ini paling disayang Mama wan Abah,” aku Siti Rubiah, kakak Hasanuddin, HM
Perjuangan mahasiswa Unlam tingkat persiapan ini, akhirnya dinobatkan sebagai Pahlawan Amanat Pembelaan Rakyat (AMPERA) dari Banjarmasin. Melengkapi predikat serupa yang disandang Arif Rahman Hakim dari Universitas Indonesia (UI) Jakarta. Bahkan jenazahnya disemayamkan di Taman Makam Pahlawan, berdampingan dengan Pangeran Antasari
(Disarikan dari Hasil Liputan Magazine News Pian Tahulah Duta TV)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar