Mengenal Syekh Jamaluddin
Al-Banjari, Ulama Haramain dari Tanah Banjar
Surgi Mufti (Kanan), Mengenakan Lencana dari Belanda. Foto tahun 1903 |
BERPERANG tanpa konfrontasi. Berjuang tanpa
senjata. Dihormati petinggi Belanda, tetapi tidak pernah mengkhianati bangsa.
Begitulah sosok Syekh Jamaluddin Al-Banjari atau Tuan Guru Surgi Mufti.
Dilahirkan di Desa Dalam Pagar, Astambul, Martapura pada tahun 1817, putra
pasangan Haji Abdul Hamid Kosasih dan Hj. Zaleha ini, tumbuh di lingkungan
agama yang kuat.
Dia adalah buyut Syekh Muhammad Arsyad
Al-Banjari alias Datuk Kalampayan. Sejak remaja, dia sudah menimba ilmu di
tanah suci Makkah Al-Mukarromah. “Dia termasuk jaringan ulama Haramain (tanah
haram). Baru sekitar tahun 1894, beliau kembali ke Banjarmasin di masa-masa
konfrontasi dengan Belanda yang menjajah kita,” ujar Yusliani Noor, sejarawan
Banua.
Sekembalinya ke tanah Banjar, Surgi
Mufti dihadapkan dengan dua pilihan. Apakah ikut konfrontasi menghadap penjajah
dan bergabung dengan pasukan Pangeran Antasari, atau memilih berdakwah meski
harus ‘berkawan’ dengan Belanda. Pada tahun 1899, H.Jamaluddin akhirnya
memutuskan menjalankan dakwahnya setelah Belanda mengangkatnya sebagai mufti.
“Jabatan mufti adalah jabatan penting
pada masa itu, setarap dengan menteri atau hakim. Putusannya adalah menjalankan
syariah hukum Islam bagi warga Banjar,” jelas Yusliani Noor, Dosen Unlam
Banjarmasin.
Tidak hanya itu, Mufti Jamaluddin juga
terkenal sebagai ahli falaqiyah (astronomi). “Dialah yang memutuskan awal dan
akhir Ramadan, berdasarkan perhitungan hilal yang dia kuasai. Bahkan urusan
bertani di masa itu, kapan waktunya bercocok tanam yang baik, juga menjadi
bidang yang dikuasainya,” tegas sejarawan yang mengangkat Tesis Tentang Islam
di Tanah Banjar ini.
Sebagai ulama dan pendakwah, kekuatan ilmunya sudah
mencapai titik tertinggi dengan berbagai karomah yang dimiliki. Dalam sebuah
ceramah di hadapan murid-muridnya, Surgi Mufti mengatakan bahwa di setiap ada
air pasti ada ikannya. Ternyata pernyataan ini terdengar petinggi Belanda dan
memanggilnya untuk melakukan tes kebenaran ucapannya.
“Jika ada air ada ikan, maka apakah
mungkin di dalam air kelapa juga ada ikannya,” tantang petinggi Belanda,
meragukan ucapan H.Jamaluddin. Akhirnya sebiji kelapa muda dibawa kehadapan
Surgi Mufti. Kelapa muda ini pun di belah, seketika airnya muncrat dan saat
bersamaan seekor ikan sepat menggelepar keluar dari buah kelapa tadi.
Sejak kejadian itu, petinggi Belanda
semakin menaruh hormat kepada Syekh Jamaluddin. Sebab tidak hanya ahli ibadah
dan kuat dalam agama, tetapi juga piawai dalam perkara dunia. Sebagai bentuk
penghargaannya, pihak Belanda saat itu menjuluki H. Jamaluddin Al-Banjari
sebagai Surgi Mufti.
“Istilah surgi itu berarti suci, mufti
artinya pemimpin. Julukan ini diberikan oleh Belanda karena sikap istiqomahnya
beliau yang memiliki kesucian hati dan tekun beribadah,” jelas Yusliani Noor.
Meski hidup
dan tumbuh di lingkungan Pemerintah Belanda, namun kelebihan Surgi Mufti tetap
bergaya ulama. Keteguhannya beribadah menjadi bukti, betapa kekuatan ilmu agama
lebih mulia daripada urusan dunia.
Tak salah
pula jika kepemimpinannya disukai Belanda, tetapi dakwahnya dinantikan
murid-muridnya. “Dia itu terkenal mengadakan pengajian duduk. Artinya dia tidak
berdakwah dari rumah ke rumah. Tetapi justru warga yang berdatangan ke
rumahnya. Tidak hanya jamaah dari Kalsel, tapi juga dari Kalteng, Kaltim dan
Kalbar,” kata Yuli Hidayat, penjaga Kubah Surgi Mufti.
Versi Yuli
Hidayat, karomah Surgi Mufti yang lain adalah saat beliau melakukan perjalanan
dari Sungai Jingah menuju Desa Dalam Pagar. Di perjalanan itu salah satu warga
melapor perhiasan emas mereka terjatuh dan hilang di sungai. Dengan
merentangkan salah satu tangannya ke sungai, perhiasan yang tenggelam itu
tiba-tiba ada di tangannya.
“Bahkan
dalam perjalanan menggunakan jukung itu, Surgi Mufti memakai jukung bocor.
Berhari-hari di jalan, jukungnya baru tenggelam setelah sampai di Martapura,”
papar Yuli Hidayat.
Di bidang
sosial kemasyarakatan, Surgi Mufti juga berandil dalam membuka jalur jalan dari
Desa Dalam Pagar menuju Desa Kelampayan. “Bahkan dialah yang membuat atang
(cungkup) makam datuknya, Syekh Muhammad
Arsyad Al-Banjari,” Yuli menambahkan.
Surgi Mufti |
Tepat
tanggal 8 Muharram 1348 Hijriyah,
Surgi Mufti meninggal dunia pada hari Sabtu, pukul 15.00 WITA menjelang Sholat
Ashar di Sungai Jingah. Surgi Mufti dimakamkan di kubah yang dibangunnya, jauh sebelum meninggal dunia. Kubah ini
dulunya dijadikannya sebagai tempat menerima murid-muridnya.
Kubah ini
dipelihara dan dijaga oleh menantunya, Hj. Khadijah istri dari HM.Arsyad
Jamaluddin. Dengan usia yang sudah mencapai 95 tahun, Nenek Khadijah masih
mampu mengaji dan membaca hurup Arab gundul sambil menerima tamu yang datang
untuk berziarah ke makam.
“Bahari
turunan Abah (sebutan Surgi Mufti), rata-rata hapal dan khatam Qur’an. Makanya
murid sidin banyak banar. Tapi yang paling utama diperhatikan sidin adalah
sembahyang. Memang sidin jua mengajarkan ilmu tarikat, namanya Tarikat
Sajaliyah, tapi kada dikembangkan,” ujar Khadijah. ***
(Disarikan dari Liputan Magazine
News Dokumenter Duta TV Banjarmasin)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar